Jakarta, siap.news
Hasil survey siapa calon presiden 2024 menggantikan Presiden Joko Widodo dari berbagai lembaga yang ada, selalu menyajikan tiga nama antaranya Ganjar Pranowo gubernur Jawa Tengah, Prabowo Subianto Menteri Pertahanan Keamanan dan Anies Baswedan Gubernur DKI Jakarta.
Menarik dari hasil survey dari berbagai lembaga yang ada selisihnya, hanya beda tipis bahkan terkadang siapa yang unggul pun berbeda-beda, kadang Ganjar, Anies dan juga Prabowo.
Berangkat dari kondisi yang ada dengan hasil survey presiden 2024 itulah, tentu menjadi keprihatinan tersendiri bagi kaum nasionalis termasuk di dalamnya aliansi Perdamaian dan Keadilan (PEREKAD) yang ingin terus menjaga keutuhan NKRI serta adanya kerukunan dan perdamaian tanpa ada pengkotak-kotakan apalagi adanya pembelahan bangsa ini.
Supaya mendapatkan masukan yang banyak dengan maksud bisa menentukan sikap dalam memberikan dukungan maupun mensosialisasikan kepada anggota maupun masyarakat Nasrani. Maka PEREKAD yang diwakili Pdt Harsanto Adi Ketua umum Asosiasi Pendeta Indonesia (API) yang juga ketua presidium PEREKAD, Djasarmen Purba Ketua umum Majelis Umat Kristen Indonesia (MUKI), Yusuf Mujiono Ketua umum Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (PEWARNA) dan Urip Dwi Premono Sekjen PMKTI yang juga ketua umum Pergerakan Indonesia Mandiri (PIM)n bertukar pikiran dengan Muhamad Qodari direktur Indo Baromater bersama kawan kawan yang mengusung presiden tiga periode ataupun JokPro Sabtu 11/6/22 di sebuah resto dibilangan Cipete Jakarta Selatan.
Dalam paparannya Qodari mencoba melihat kondisi pembelahan bangsa ini sangat nyata, bagaimana isu agama selalu dipermainkan, contoh terakhir tentang penjual nasi rendang babi saja bisa dibuat viral hingga diperiksa polisi. Sekalipun Qodari sadar betul bahwa pihak polisi sendiri diperhadapkan dalam situasi yang tidak mudah.
Realita ini yang memang perlu dihitung dengan cermat, antaranya bagaimana dalam pilpres 2024 nanti. Karena lanjut Qodari dalam perhelatan pilpres tersebut sangat terbuka untuk empat pasang presiden maju sebagai calon.
Namun, andai Ganjar tak diusung oleh PDI Perjuangan karena gejala pertentangan yang sangat keras terjadi dalam internal PDI P, di mana satu pihak mendukung Ganjar sebagai capres namun pihak lain mendukung Puan Maharani capres dari PDI Perjuangan.
Kalau ini berlanjut kaum nasionalis akan terbelah, akibatnya bisa jadi dua duanya tidak akan bisa maju dan menang. Sekalipun memang hasil akhir selalu ditentukan oleh Ketua Umum dalam hal ini Megawati Soekarno Putri. Tetapi akan sangat terlambat jika yang diusung kaum nasionalis itu waktunya terlalu mepet.
Jika yang menang tersebut dari nasionalis baik itu Ganjar maupun Prabowo akan berhadapan calon yang didukung kelompok, yang selama ini mengusung politisasi identitas ataupun politisasi agama akan menjadi presiden yang sangat buruk.
Bahkan menurut Qodari ini akan terjadi pembelahan yang luar biasa dan lebih berdampak besar ketimbang Pilpres 2019 maupun Pilkada DKI 2017. Hal ini tak terlepas berangkat dari hasil perhitungan survey dengan selisih dukungannya sangat tipis.
Dengan demikian untuk meraih kemenangan akan menggunakan segala cara dan cara itu akan bermain di polisisasi identitas tersebut.
Paling tidak itulah prediiksi pilpres 2024 yang akan terjadi lanjut Qodari. Di ssi lain pondasi pembangunan yang sudah diletakan presiden Jokowi akan dipertanyakan kelanjutannya. Baik pembangunan IKN, infrastuktur maupun pondasi ekonomi yang saat ini sedang dibangun dan dikerjakan.
Apalagi kalau yang dipilih tersebut presiden yang didukung para pemain politisasi identitas, semakin tidak kondusif dengan kehidupan berbangsa dan beragama di Indonesia. Belum lagi factor investor asing yang rata-rata akan selesai perjanjiannya tahun 2023, Jika pilpres yang digadang belum menemukan arah dan misi dari capres dijamin para investor akan berhitung kembali, seberapa besar dampak dari dampak pilpres tersebut.
Pertimbangan-pertimbang itulah kalau kemudian M Qodari dan kawan-kawan memunculkan gerakan presiden tiga periode, dengan tujuan jelas agar kesinambungan pembangunan bisa berlanjut, karena dengan waktu 10 tahun dengan kondisi bangsa yang kurang baik masih membutuhkan waktu kembali untuk memperbaiki bangsa ini. Belum lagi peran pemerintah untuk menekan oknum-oknum yang selalu bermain dengan politisasi identitas, dengan tambahan lima tahun lagi akan mampu ditekan habis. Hal ini sudah terbukti keberanian Jokowi dalam melarang FPI dan HTI.
Selanjutnya dengan satu periode lagi kalau ada pendapat pangamat ataupun masyarakat, menurut Qodari tidak akan menimbulkan goncangan yang besar di bading ketika pilpres dilansgungkan dengan bermain politisasi identitas terutama politisasi agama.
Hal ini sangat mungkin terjadi ketika para calon memiliki kekuatan yang rata-rata dan tidak akan yang menonjol, dikuatirkan politisasi agama akan dipermainkan.
“Perkara perlunya amandemen itu urusan 9 fraksi yang ada di DPR RI namun yang pasti ada aturan amandemen dan itu bisa dilakukan amandemuen”, tandas Qodari meyakinkan. Margareth