Jakarta, siap.news
Orientasi institusi Polri harus tertanam efektif pada motivasi setiap anggota dan masyarakat yang menjadi sumber SDM. Maka, dengan lulusan terbaik Akpol 1991, Irjen Pol. Drs. Wahyu Widada, M.Phil sebagai Asisten SDM Kapolri yang baru, perubahan secara mendasar kultural selayaknya tuntas sekarang juga.
Pemerhati profesi polisi dan budaya, Suryadi, M.Si, Jumat (30/7/21) di Jakarta mengatakan, periode kali ini benar-benar ujian bagi Kapolri dan Asisten SDM Kapolri yang sama-sama lulusan Akpol 1991.
Suryadi mengaitkan orientasi dengan mutasi anggota Polri yang terjadi di setiap masa kepemimpinan Kapolri.
Terakhir dengan Surat telegramnya (TR), Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo memutasi 500 lebih perwira tinggi dan menengah Polri Mabes Polri dan jajaran di seluruh Tanah Air.
“Biasanya akan akan diikuti pernyataan bersayap dan normatif, bahwa mutasi dilaksanakan Dalam rangka penyegaran untuk memenuhi kebutuhan organisasi,” kata Wakil Sekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) itu.
Pernyataan seperti itu, lanjut Suryadi, seharusnya sudah ditinggalkan dan berganti dengan pernyataan yang jauh lebih produktif dan terbuka kepada publik.
Pernyataan yang selayaknya terpublikasi dengan baik dan efektif itu, misalnya kata Suryadi, Polri itu bukan sekadar membuka setiap mata bahwa Polri itu lapangan kerja tapi medan bagi para ahli untuk memberikan pelayanan penegakkan hukum yang terbaik bagi masyarakat.
Oleh karena itu, yang dibutuhkan bukan para pemburu pangkat dan jabatan, melainkan keahlian. Soal-soal kesejahteraan, lanjutnya, itu sudah otomatis dan logis terecord oleh sistem pembinaan karir (Binkar) institusi.
Dalam konteks cita-cita berkarir di Polri, imbaunya, media sebagai representasi publik harus pula menjadi faktor eksternal pengkritik, sehingga berita-berita mutasi promosi tak kehilangan makna kepentingan publik, yaitu output yang profesional teruji.
Diharapkan, lanjutnya, yang diimplementasikan oleh Polri adalah kerja-kerja profesional menuju terbangunnya “ahli sebagai suatu nilai”.
“Jadi, antara orientasi institusi Polri dan masyarakat tak senjang, tapi terkonfirmasi “matching”. Apa itu? setiap WNI yang (akan) menjadi anggota Polri itu cita-citanya adalah menjadi polisi profesional, ahli di bidangnya,” kata Suryadi.
Soal pangkat dan jabatan itu bukan orientasi, sehingga lanjutnya, yang terjadi di Polri itu bukan antrean panjang sejumlah anggota Polri yang menanti atau mengejar-kejar untuk suatu kepangkatan dan jabatan.
Mutasi anggota Polri yang kali ini ditandai oleh masuknya Kapolda Aceh Irjen Pol Wahyu Widada menjadi Asisten SDM Kapolri, harapnya, akan diikuti oleh langkah konkret memengaruhi kebijakan Kapolri untuk memulai perubahan semacam itu.
Dengan SDM semacam itu, urai Suryadi, akan tercipta arena sinergi antarpersonel yang mewujud ke sinergi antarfungsi, dan pada gilirannya bermuara pada institusi Polri yang handal dan profesional pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (Harkamtibmas).
Langkah semacam itu, penting dan sudah sangat mendesak, lanjutnya, mengingat ternyata hingga kini tak kunjung terealisasi secara tuntas dari satu masa kepemimpinan Kapolri ke kepemimpinan Kapolri berikutnya.
Bukan Jargon
Tuntutan menjadi anggota Polri profesional, ahli, itu tidak sekadar sebuah jargon. Tetapi lanjutnya, bertahap sudah harus dimulai dari awal penerimaan anggota Polri dan perjalanan binkar yang sejalan dengan tuntutan keberagaman khas Indonesia pada masing-masing wilayah hukum Polda.
Sebenarnya, Kapolri Sigit sudah memulai ke arah sana. “Contoh, mengapa diadakan di garis terdepan yaitu Polsek nonpenyidikan? Ini sekadar “trial and eror’ atau apa? Ini seharusnya dibaca sebagai wujud konkret mengedepankan Polri yang lebih ahli dalam pembinaan masyarakat (binmas) dan komunikasi berbasis penegakan hukum dan kultur setempat,” urainya.
Polisi Indonesia itu, lanjutnya, seperti sudah berkali-kali disampaikan oleh para petingginya mulai dari Kapolsek sampai ke Kapolri, lebih mengedepankan langkah pencegahan semaksimal dan seoptimal mungkin.
Logikanya, lanjut Suryadi, tindakan represif menjadi langka, karena peristiwa kriminalnya memang jadi langka tercegah oleh langkah-langkah ahli berbasis hukum dan kultural anggota Polri di mana pun mereka bertugas.
“Kriminal itu di mana pun masih akan terjadi, tapi dengan pendekatan kebinmasan serta komunikasi yang mumpuni membumi pada kultur dan kebiasaan, baik di daerah setempat, akan dapat ditekan karena lebih cepat terdeteksi secara dini,” kata Suryadi.
Dengan demikian, lanjutnya, “adu banyak-banyakan” anggota Polri berbanding jumlah penduduk bukan lagi pilihan yang patut diterus-teruskan, tetapi disejalankan dengan kemajuan pengetahuan yang mendorong kesadaran tertib hukum pada masyarakat.
Maka, lanjutnya, penambahan anggota Polri lewat rekrutmen, tidak cuma mempertimbangkan rasio secara kuantitas. Sebab, tak ada bukti sahih bahwa makin banyak anggota polisi otomatis langsung menurunkan angka kejahatan.
Suryadi mengatakan, dengan basis pemikiran tentang kualitas, diharapkan akan ada perubahan orientasi menjadi polisi yang profesional, ahli. Ini akan menjadi modalitas sosial kuat Polri sekaligus merupakan orientasi setiap WNI yang sudah menjadi anggota Polri atau yang mau berkarir sebagai anggota Polri.
Diharapkan, perubahan semacam itu akan mengendalikan penambahan anggota sehingga tak sekadar untuk memperbanyak.
Bisa saja, lanjutnya, di suatu tahun dilakukan moratorium penerimaan atau pengurangan jumlah penerimaan anggota Polri sebagain suatu strategi SDM yang cerdas. Saat ini jumlah anggota Polri tersebar di Tanah Air sekitar 470.000-an orang
Jika bicara anggaran, lanjut Suryadi, akhirnya akan terwujud secara realistis pada langkah-langkah terukur serta dengan manajemen rekrutmen dan binkar yang baik. Dari situ akan lahir anggota yang profesional sesuai kapasitas keahlian pada fungsi masing-masing untuk saling bersinergi.
Jadi, harap Suryadi, akan terjadi efisiensi dan bermuara pada SDM yang berkualitas berbasis pendekatan-pendekatan kemasyarakatan karena SDM Polrinya siap dan handal dengan kapasitas pencegahan.
Editor: PS